(14 Jan 2013)
Perjalananku ke India dimulai dengaan rute Jakarta-Kuala Lumpur, mengingat belum ada penerbangan
low cost carrier langsung dari Jakarta ke India. Dari Jakarta ke KL aku terbang dengan Air Asia penerbangan paling akhir di malam hari, sehingga aku harus menginap semalam di LCCT Kuala Lumpur International Airport untuk penerbangan ke Kalkuta keesokan harinya. Terminal LCCT ternyata sangat besar dan penuh sekali. 24 jam dalam sehari nggak pernah sepi, aktivitas kedatangan dan keberangkatan penumpang terus berjalan. Aku menginap di kursi ruang tunggu kedatangan, dan bertemu seorang cewek dari Filipina yang akhirnya menjadi teman ngobrolku mengarungi malam yang melelahkan di LCCT.
|
Terminal Kedatangan Domestik LCCT tempat aku menginap |
(15 Jan 2013)
Keesokan paginya setelah sarapan bersama kami berpisah karena ia akan melanjutkan perjalanan ke Penang pukul 9 pagi. Tapi aku masih nggak sendiri, karena setelah itu aku ketemu seorang cewek Malaysia yang mau terbang ke Sabah pukul 11 pagi. Jadilah aku dapat teman ngobrol untuk mengusir kejenuhan walaupun nggak lama. Kami ngobrol-ngobrol tentang musik, film, dan ngalor ngidul kemana-mana. Dari percakapan dengannya aku jadi tau ternyata orang Malaysia penggemar musik dan film Indonesia. Dia sampai bilang,
"Aku ingin sekali ke Indonesia". Trus dia nanya kalau ke Indonesia tempat yang bagus itu dimana. Aku jawab aja,
"Kalo mau jalan-jalan ke Indonesia mending ke Bandung aja, atau Yogya dan Bali. Jangan ke Jakarta deh, soalnya muacet
dan crowded
". Trus dia manggut-manggut sambil bilang,
"Oh.. Bandung... Bandung..."
Jam 12 siang akhirnya aku bertemu Nurul,
travel mate ku ke India. Dia terbang dari Surabaya dengan pesawat pagi dan kami janji ketemuan di LCCT. Setelah kedatangan Nurul yang enejik dan penuh semangat, makin tidak sabar rasanya untuk menjejakkan kaki di India. Jadwal penerbangan ke KL-Kolkata adalah pukul 15.05 waktu KL (waktu KL 1 jam lebih cepat dibanding WIB) dan pukul 13.20 kami sudah siap-siap buat
check in. Namun bencana dimulai saat kami melihat papan informasi yang menyatakan pesawat ke Kalkuta
delay 50 menit! Badanku langsung lemas dan lunglai mengingat kami sudah memesan tiket kereta dari Kolkata menuju New Delhi yang dengan perhitungan pesawat nggak
delay aja sudah bikin jantung mau copot. Apalagi ini delay-nya sampai 50 menit!
What an asshole Air Asia!!! Aku dan Nurul hanya bisa pasrah dan berdoa, dan menyiapkan rencana cadangan kalau harus menginap di Kalkuta atau mengejar kereta berikutnya (yang pastinya tidak mudah dengan harga tiket yang lebih mahal).
Akhirnya delay 50 menit itu menjadi 1 jam 40 menit.
F*ck!!! Penerbangan yang seharusnya jadi menyenangkan berubah menjadi sangat menyebalkan. Ditambah lagi saat menaruh tas di kabin pesawat seorang ibu-ibu India seenaknya melarang aku meletakkan tas di atas kabinnya,
"No no no, that is ours, that is ours". Untunglah seorang pramugara yang ganteng dengan sigap membelaku,
"That's ok maam, she can put her luggage anywhere in this cabin as her cabin is already full", dan kemudian menolong menaroh tasku. Pesawat lepas landas pukul 14.40 dan waktu 3 jam 50 menit terasa lama sekali. Biarpun kesal karena penerbangan yang
delay nggak tanggung-tanggung, ada satu hal yang membuat aku sedikit bahagia saat mendarat di Netaji Subhas Chandra Bose Int'l Airport di Kalkuta. Sesaat setelah landing kru pesawat memutar lagu Separuh Aku-nya Noah Band. Aku jadi terharu sekaligus bangga. Bukannya lagu Melayu atau lagu India yang enerjik, yang diputar malah lagu Indonesia, lagu baru pula. Mungkin kru penerbangannya ngefans sama Ariel kali ya, hehe.
|
Air Asia, KL - Kolkata |
Setelah melewati proses imigrasi yang lambat dan memakan waktu sekitar 30 menit, kami segera keluar mencari taksi. Waktu itu pukul 18.00 sore dan hari sudah gelap. Nggak banyak yang bisa kami lihat di kawasan bandara ini, tapi sepertinya bandaranya tidak terlalu besar dan tidak
crowded seperti perkiraan. Hanya beberap gelintir orang yang terlihat berada di area kedatangan. Kami mengambil taksi berwarna putih menuju Howrah Railway Station dan minta ngebut buat mengejar kereta jam 18.50. Selama di perjalanan, kami menyaksikan riuhnya Kalkuta di malam hari. Mulai dari pinggir jalan, toko-toko, bus, dan becak semuanya nggak ada yang sepi. Setiap bangunan yang kami lihat dan jalanan yang kami lalui mengesankan kuno-nya kota yang pernah menjadi ibukota India ini. Di beberapa sudut jalan kerap terlihat acara pemujaan Hindu dengan kliningan lonceng lengkap dengan kerlipan lampu warna-warni dan asap dupa. Setiap orang di pinggir jalan tampak berjalan mengenakan jaket, tutup kepala, selendang, hingga menyampirkan selimut ke tubuhnya karena memang udara malam musim dingin sangat menusuk. Kami yang berada di taksi juga bersiap-siap menutupi tubuh kami dengan
sweater, jaket, dan selendang.
Menurut Google Maps dan beberapa sumber terpercaya lain, jarak airport ke stasiun adalah sekitar 22 km dan dengan waktu normal bisa ditempuh dalam 30 menit. Tapi dengan kondisi jalanan yang riuh dan macet di beberapa tempat ini membuat kami menjadi pesimis. Benar saja, jam sudah menunjukkan pukul 18.45 dan kami masih terjebak di lampu merah entah dimana. Nurul mulai mencak-mencak sama Pak Supir taksi,
"Kereta kami udah mau berangkat nih.. Cepetan doong..!!" Pak supir taksi berkumis rapi juga mulai emosi,
"Nggak liat apa nih macet kayak gini?". Dengan balas-balasan ngomel, kami sampai di Stasiun Howrah pukul 19.05 dan masih berharap kalo keretanya juga
delay (Indonesia banget). Kami segera berlari menyandang
backpack dan menenteng tas menerobos kerumunan orang-orang di stasiun yang superrrr
crowded ini. Stasiun kereta di India sangat meriah dengan suara pengumuman informasi yang diputar berulang-ulang dengan rekaman suara wanita berbahasa Hindi dan English. Kami menuju papan pengumuman namun tidak mendapat informasi yang berarti, kemudian segera meluncur mencari
platform 10 sesuai yang tertera di tiket kereta. Tidak lama kami mendapati
platform 10 yang sudah kosong, lalu bertanya kepada beberapa orang yang semuanya menjawab
"Kereta ke New Delhi sudah berangkat". Oh My God, mimpi buruk itu menjadi kenyataan.
|
tiket kereta Kolkata - New Delhi yang hangus |
Dengan gontai kami berjalan ke kantor informasi, berharap ada kereta selanjutnya ke New Delhi. Singkat cerita, kami akhirnya membeli tiket dari calo seharga hampir Rs4.000 (sekitar Rp800.000) untuk kereta ke New Delhi pukul 23.00. Jadwal kereta ini awalnya adalah pukul 19.40, namun karena cuaca buruk dan kabut keretanya jadi terlambat. Kami yang sudah putus asa dan tidak ada ide jika harus menginap di Kalkuta, terpaksa mengambil tiket kereta kelas AC tersebut. Kami menunggu sambil duduk di kursi ruang tunggu kereta. Selama lebih kurang 5 jam, kami mengamati denyut kehidupan malam di stasuin kereta di India. Stasiun ini sudah seperti barak pengungsian yang penuh dengan ratusan orang yang menghampar di lantai. Rata-rata mereka bukan pengemis atau
homeless people, melainkan calon penumpang kereta yang sama seperti kami, menunggu jadwal keberangkatan kereta tengah malam atau esok hari. Orang-orang tampak hilir mudik dengan menenteng tas dan koper yang super besar yang sebagian ditenteng diatas kepala, tak peduli pria atau wanita. Hampir sebagian penumpang kereta jarak jauh di India terdiri atas satu keluarga besar yang terdiri dari paling tidak Bapak, Ibu, dan anak. Tidak jarang ada Kakek dan Nenek segala. Karena sudah lelah dan masih
shock dengan tragedi keterlambatan pesawat dan ketinggalan kereta, kami tidak punya gairah mengambil 1 foto pun dan sepertinya hanya kamilah turis yang terlihat di stasiun ini.
Kami menunggu dan terus menunggu menuju jam 23.00 sambil mengamati setiap inchi kehidupan di stasiun. Seringkali aku merasa bahwa kamilah yang menjadi sumber pengamatan orang-orang di stasiun yang suka curi-curi pandang ke arah kami. Namun entah kenapa, kami tidak merasa takut karena memang cuma
diliatin dan nggak
diapa-apain. Malah kami merasa nyaman berbaur ditengah ramainya orang-orang di stasiun. Di sini kami mulai mengenal
chai, teh khas India yang terbuat dari susu, gula, rempah, dan daun teh yang terasa sangat nikmat di musim dingin seperti ini. Di stasiun, pinggir jalan, hingga di gerbong kereta selalu terdapat pedagang
chai yang meneriakkan daganganya,
"Chai, chai, chai!"
Kurang 20 menit dari pukul 23.00 kami beranjak dan mulai berjalan menuju
platform 16. Lalu kami melihat papan pengumuman dan disana sudah ditempel nama-nama penumpang lengkap dengan nomor
coach (gerbong) dan tempat duduknya. Disini aku angkat topi dengan sistem perkeretaapian di India yang sangat maju dan bisa diakses dari seluruh dunia lewat internet, seperti yang kulakukan saat pemesanan tiket kereta api selama perjalanan di India lewat
https://irctc.co.in, atau bisa juga lewat
cleartrip.com (sistemnya ya, bukan praktiknya yang kadang masih suka telat). Memang aku tidak menemukan nama kami secara tiket yang kami pesan adalah tiket dadakan dari sang calo, yang kami temukan hanyalah daftar tempat duduk cadangan yang kosong yang tiketnya sudah kami pegang. Tidak lama kereta kami datang dan ratusan penumpang tampak berlari kecil mengejar gerbong tempat duduk masing-masing. Kami yang baru saja melihat pemandangan ini ikut berlari-lari kecil mencari gerbong AC Two Tier. Saat menemukan gerbong yang tertera di tiket, kami memastikannya dengan bertanya pada bapak-bapak yang berada di dalam kereta. Eh, ternyata nama-nama penumpang yang kami lihat di papan pengumuman tadi juga ditempel disetiap gerbong. Jadilah kami menaiki gerbong kereta yang nyaman yang dilengkapi dengan tirai yang menutupi tempat tidur (aku akan jelaskan tentang perkeretaapian di India di post berikutnya).
Kereta perlahan mulai bergerak pukul 23.00 malam. Perjalanan sepanjang 1.461 km dari Kolkata ke New Delhi selama lebih dari 24 jam ini akan kami nikmati esok hari saja. Setelah mencuci muka dan buang air di toilet yang cukup bersih, kamipun bersiap-siap untuk tidur dengan punggung dan kaki yang sudah sangat lelah. Aku sempat merenung mengingat kembali perjalanan yang panjang dan melelahkan di hari ini, yang kutempuh lebih dari 24 jam akibat perbedaan waktu 2,5 jam antara Malaysia dan India. Kemudian aku tertidur sambil memeluk ransel kecilku.